Angka Bunuh Diri Tinggi, Taiwan Tawarkan Cuti Kesehatan Mental

SHARE  

Penduduk setempat mengikuti upacara di Kuil Lungshan untuk menandai hari pertama Tahun Baru Imlek Kelinci di Taipei pada 22 Januari 2023. (SAM YEH/AFP via Getty Images) Foto: Penduduk setempat mengikuti upacara di Kuil Lungshan untuk menandai hari pertama Tahun Baru Imlek Kelinci di Taipei pada 22 Januari 2023. (AFP via Getty Images/SAM YEH)

Jakarta, CNBC Indonesia – Sekolah menengah di Taiwan akan mulai menawarkan cuti kesehatan mental kepada siswanya pada Maret 2024. Langkah ini diambil untuk mengatasi meningkatnya angka bunuh diri remaja akibat tingginya tingkat stres serta depresi.

Melalui program ini, siswa sekolah menengah dapat mengajukan permohonan libur hingga tiga hari setiap semester, baik penuh atau setengah hari, tanpa bukti kebutuhan tetapi dengan izin orang tua mereka. Menurut Kementerian Pendidikan, lebih dari 40 sekolah di Taiwan telah menyatakan minatnya dalam uji coba cuti kesehatan mental ini.

Cuti kesehatan mental memiliki tingkat efektivitas tertentu. Hal ini memungkinkan siswa untuk menghilangkan stres yang mendesak saat ini dan memiliki waktu istirahat penyangga yang cukup untuk mencerna dan mengatasi ketidaknyamanan mereka,” kata psikolog di unit konseling dan kesehatan Universitas Nasional Sun Yat-sen, Hsiao Chih-hsien, mengatakan hari cuti adalah langkah yang baik ke arah yang benar, dikutip Guardian pada Senin (4/3/2024).

“Jika ketidaknyamanan mental dilihat secara normal “siswa akan lebih berani dalam mencari bantuan,” tambah Hsiao menyarankan program ini juga dapat membantu meningkatkan sikap masyarakat terhadap penyakit mental. 

Penyebab Angka Bunuh Diri yang Tinggi

Skema cuti ini merupakan respons terhadap meningkatnya kekhawatiran terhadap masalah kesehatan mental di kalangan generasi muda di Taiwan. Antara tahun 2014 dan 2022, angka bunuh diri di antara orang berusia 15 hingga 24 tahun meningkat lebih dari dua kali lipat, meskipun angka keseluruhannya menurun.

Namun beberapa pihak berwenang Taiwan telah dikritik atas tanggapan mereka terhadap krisis ini. Para advokat mengatakan tekanan akademis yang ekstrim terhadap siswa adalah penyebab utama stres, kecemasan dan depresi.

Pada tahun 2022, seorang pejabat senior di Kementerian Kesehatan dan Kesejahteraan mendapat kecaman dari kelompok advokasi pemuda setelah menghubungkan peningkatan angka bunuh diri dengan “semakin banyaknya gedung tinggi di Taiwan”.

Komentarnya merupakan tanggapan terhadap pertanyaan dari para ahli PBB mengenai apakah pihak berwenang Taiwan telah mempertimbangkan faktor-faktor sistemik seperti tekanan akademis, dan dikritik secara luas karena meremehkan kekhawatiran yang semakin besar mengenai dampak hal ini terhadap pelajar di Taiwan dan negara-negara Asia Timur lainnya.

Pada tahun 2022, Yayasan Liga Kesejahteraan Anak melakukan survei terhadap siswa dan menemukan bahwa lebih dari 12% melaporkan tingkat stres yang “parah”, dan dua kali lebih buruk pada siswa sekolah menengah atas dibandingkan siswa sekolah menengah pertama.

Hampir seperempat siswa sekolah menengah mengatakan mereka pernah mengalami depresi berat. Survei tersebut menyebutkan tiga penyebab stres terbesar yang dilaporkan adalah tugas sekolah (77%), prospek masa depan (67%) dan hubungan interpersonal (43%).

Kekhawatiran Para Siswa

Seorang siswa SMA mengatakan bahwa gurunya telah mendiskusikan cuti kesehatan mental dengan teman-temannya di kelas. Namun menurutnya tidak banyak teman sekelasnya yang akan mengambil cuti tersebut.

“Saya rasa Anda tidak bisa mengatasi kondisi emosional atau mental dengan mengambil cuti sekolah. Itu hanya pelarian,” kata siswa perempuan tersebut, yang menyebut dirinya memiliki kecemasan akibat hubungan pribadi dan keluarga serta citra tubuh yang dianggap berbeda.

“Tidak ada seorang pun yang akan mengambil cuti seperti ini… Bahkan jika mereka melakukannya, mereka hanya akan tinggal di rumah dan belajar. Saya pikir banyak orang tua akan menentang kebijakan ini. Mereka bukan siswa sekolah menengah, jadi mereka tidak tahu seberapa besar tekanan yang kami alami,” jelasnya.

Di sisi lain, meski serikat pekerja mengatakan para mahasiswa bersikap positif terhadap program ini. Namun terdapat masalah besar, ermasuk beberapa profesor yang mengurangi poin kehadiran bagi mahasiswa yang mengambil hari cuti.

Pedoman pemerintah untuk skema ini menyarankan universitas untuk memberikan perhatian yang lebih besar terhadap kesejahteraan emosional mahasiswa dan memastikan konseling dan layanan lainnya tersedia selama hari cuti.

“Semua guru (termasuk tutor dan pengawas), konselor profesional, dan personel terkait di unit pengajaran dan administrasi harus memperhatikan kesehatan fisik dan mental siswa, dan tidak boleh menimbulkan diskriminasi atau stigmatisasi akibat penggunaan cuti penyesuaian fisik dan mental,” demikian isi pedoman tersebut, sambil mendesak agar siswa didorong untuk mencari bantuan.

Pada tahun 2018, jajak pendapat menemukan bahwa lebih dari 53% orang di Taiwan menganggap penyakit mental merupakan stigma di masyarakat mereka.

DISCLAIMER: Berita atau artikel ini tidak bertujuan menginspirasi tindakan bunuh diri.

Pembaca yang merasa memerlukan layanan konsultasi masalah kejiwaan, terlebih pernah terbersit keinginan melakukan percobaan bunuh diri, jangan ragu bercerita, konsultasi atau memeriksakan diri ke psikiater di rumah sakit yang memiliki fasilitas layanan kesehatan https://pembangkitkuku.com/jiwa.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*