Foto: (AP/Vincent Thian)
Jakarta, CNBC Indonesia – Juru Bicara Kementerian Agama Anna Hasbie menyampaikan pesan untuk masyarakat terkait adanya perbedaan awal puasa Ramadan tahun ini.
Kementerian Agama mengimbau masyarakat untuk mengedepankan sikap saling menghormati terhadap perbedaan awal puasa Ramadan 1445 Hijriah.
Selain itu, dialog para pihak juga patut didengar agar bisa memahami dan saling berbagi informasi terkait argumentasi masing-masing dalam mengawali ibadah puasa.
“Kita hormati pilihan dan keyakinan umat Islam dalam mengawali puasa Ramadan 1445 H/2024 M. Sikap saling menghormati perlu dikedepankan dalam menyikapi perbedaan,” kata Anna dalam keterangan resmi, dikutip (9/3/2024).
Mayoritas umat Islam akan mengawali puasa Ramadan 1445 Hijriah pada 11 dan atau 12 Maret.
Majelis Tarjih Pengurus Pusat Muhammadiyah sudah mengumumkan awal puasa Ramadan pada 11 Maret 2024. Ini berarti shalat tarawih pertama akan dilaksanakan pada 10 Maret 2024.
Sementara itu, tanggal 1 Ramadhan 1445 H versi Nahdlatul Ulama (NU) dan Pemerintah baru akan ditetapkan melalui sidang isbat yang digelar akhir Syaban nanti.
Berbeda dengan Muhammadiyah, pemerintah dan NU menggunakan metode rukyatul hilal dalam menentukan awal bulan. Metode tersebut mempertimbangkan hasil hisab posisi hilal yang dikonfirmasi lagi lewat pengamatan hilal dengan kriteria MABIMS (Menteri Agama Brunei, Indonesia, Malaysia, dan Singapura).
Tinggi hilal saat Matahari terbenam menurut kriteria MABIMS minimal 3 derajat dan sudut elongasi 6,4 derajat.
Meski demikian, apabila mengacu pada kalender Hijriah Indonesia 2024 terbitan Kementerian Agama, maka awal Ramadan 2024 versi pemerintah dan NU diperkirakan jatuh pada Selasa, 12 Maret 2024.
Sudah Mulai Salat Tarawih
Namun demikian, ada kelompok jemaah yang sudah mulai puasa pada 7 Maret. Ada juga yang akan mulai berpuasa pada 10 Maret.
Mereka adalah Jemaah Aolia Gunungkidul, Yogyakarta, yang sudah melaksanakan salat tarawih pada Rabu malam (6/3) dan menjadi viral.
Mengutip Detikcom, Sabtu (9/3), jemaah melaksanakan ibadah salat tarawih usai salat Isya pada pukul 19.38 di Musala Aolia, Padukuhan Panggang III, Kalurahan Giriharjo, Kalurahan Panggang.
Musala tersebut terletak di rumah Imam jemaah masjid Aolia, KH Ibnu Hajar Pranolo. Di masjid tersebut ada tiga saf jemaah laki-laki dan satu saf jemaah perempuan. Per saf setidaknya ada kurang lebih delapan jemaah.
Saat ditemui, Ibnu menjelaskan, Bulan Syaban sudah berakhir. Sedangkan 1 Ramadan menurut keyakinan mereka jatuh pada Rabu petang kemarin.
“Tadi malam saya selesai Syaban. Magrib tadi itu tanggal 1 (Ramadan),” ungkap Ibnu kepada wartawan saat ditemui di rumahnya, beberapa waktu lalu.
Meski mengawali salat tarawih daripada umat Islam lainnya, Ibnu masih menghormati keputusan tersebut. Bagaimanapun, Ibnu menjelaskan keputusan tersebut perihal keyakinan.
“Jadi ini masalah keyakinan. Soal pemerintah mau tanggal 12 (Maret 2024 jatuhnya 1 Ramadan), mangga,” ungkapnya.
Adapun ibadah Salat Tarawih itu dilaksanakan dengan jumlah rakaat sebanyak 23 rakaat, yang terdiri dari 20 rakaat untuk Salat Tarawih dan 3 rakaat Salat Witir.
Diketahui, Jemaah Aolia selama ini memang sering berbeda waktu dalam pelaksanaan ibadah.
Versi BRIN
Dari sisi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), mereka memprakirakan 1 Ramadan 1445 Hijriah jatuh pada Selasa, 12 Maret 2024. Prakiraan tersebut berdasarkan kriteria baru 1 Ramadan yang disepakati pada 2021.
Peneliti Ahli Utama Pusat Riset Antariksa BRIN Thomas Djamaluddin menjelaskan, Menteri Agama Brunei, Indonesia, Malaysia, dan Singapura (MABIMS) telah menyepakati kriteria baru penentuan Ramadan.
Berdasarkan hasil kesepakatan 2021, kriteria hilal berubah menjadi ketinggian hilal 3 derajat dan elongasi 6,4 derajat. Kesepakatan ini ditandai dengan penandatanganan surat bersama ad referendum pada 2021 terkait penggunaan kriteria baru MABIMS di Indonesia mulai tahun 2022.
“Akhir bulan Sya’ban 1445 H atau 10 Maret 2024, tinggi Bulan di Indonesia kurang dari 1 derajat. Di Pulau Jawa, seperti Jakarta 1,7 derajat yang mana ini belum memenuhi kriteria MABIMS,” kata Djamal saat berbicara tentang ‘Kriteria Baru MABIMS dalam Penentuan Awal Ramadan’ di Gedung BJ Habibie BRIN, Jakarta Pusat dikutip dari Detikcom.
Djamal menjelaskan prakiraan ini berarti bakal ada perbedaan dalam hal awal Ramadan di Indonesia. Namun, ia menegaskan perbedaan bukan disebabkan oleh perbedaan metode.
Dalam menentukan awal Ramadan, ada metode rukyatul Hilal (pengamatan) dan metode hisab (perhitungan). Kedua metode ini kerap disebut sebagai penyebab perbedaan padahal tidak sama sekali.
“Hisab dan rukyat digunakan dalam penentuan awal Ramadan. Ketika terjadi perbedaan kemudian, oh ini karena ada ormas yang menggunakan hisab ada ormas yang menggunakan rukyat, sesungguhnya tidak. Dalam astronomi, hisab dan rukyat sejalan atau setara sehingga bisa dipertemukan. Salah satunya tidak lebih umum dibandingkan yang lain,” jelasnya
Djamal mengatakan, perbedaan secara umum perbedaan disebabkan banyak faktor. Namun akar masalahnya adalah karena perbedaan kriteria. Menurutnya, ada tiga hal yang diperlukan untuk sistem kalender yang mapan.
“Kalender itu mensyaratkan tiga hal, apapun kalendernya, kalender Masehi, kalender Jawa, Hindu, dan lain-lain, mensyaratkan tiga hal supaya menjadi kalender yang mapan dan bisa disepakati bersama: ada kriteria tunggal yang disepakati, ada batas wilayah yang disepakati, ada otoritas tunggal https://pembangkitkuku.com/yang mengaturnya,” sebutnya.